MASJID AGUNG PALEMBANG
Pendirian
Masjid Agung pada mulanya disebut Masjid Sultan.
Perletakan batu pertama pada tahun 1738, dan peresmiannya pada hari Senen
tanggal 28 Jumadil Awal 115 H atau 26 Mei 1748. Masjid Agung didirikan oleh
Sultan Mahmud Badaruddin I yang dikenal pula dengan Jayo Wikramo (tahun
1724-1758).
Masjid Agung Palembang bagian dari peninggalan
Kesultanan Palembang Darussalam, dan menjadi salah satu masjid tertua di Kota
Palembang. Masjid ini berada di utara Istana Kesultanan Palembang, di belakang
Benteng Kuto Besak yang berdekatan dengan aliran sungai Musi. Secara
administratif, berada di Kelurahan 19 Ilir, Kecamatan Ilir Barat I, tepat di
pertemuan Jalan Merdeka dan Jalan Sudirman, pusat Kota Palembang.
Masjid Agung Palembang mulai dibangun pada tahun 1738
oleh Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo. Pembangunan berlangsung selama 10
tahun dan resmi digunakan sebagai tempat peribadatan umat muslim Palembang pada
tanggal 28 Jumadil Awal 1161 H atau 26 Mei 1748 M.
Masjid
Agung 1753 Awalnya masjid ini bernama Masjid Sultan, dan belum memiliki menara.
Bentuk masjid hampir bujursangkar, memiliki ukuran 30 meter x 36 meter. Dengan
luas mencapai 1080 meter persegi, konon, Masjid Sultan merupakan masjid
terbesar di nusantara yang mampu menampung 1200 jema’ah.
Arsitektur
Arsitektur
Masjid Sultan dirancang oleh seorang arsitek dari
Eropa. Konsep bangunan masjid memadukan keunikan arsitektur Nusantara, Eropa
dan Cina. Gaya khas arsitektur Nusantara adalah pola struktur bangunan utama
berundak tiga dengan puncaknya berbentuk limas. Undakan ketiga yang menjadi
puncak masjid atau mustaka memiliki jenjang berukiran bunga tropis. Pada bagian
ujung mustaka terdapat mustika berpola bunga merekah. Bentuk undakan bangunan
masjid dipengaruhi bangunan dasar candi Hindu-Jawa, yang kemudian diserap
Masjid Agung Demak.
Atap masjid berbentuk limas,
terdiri dari tiga tingkat. Pada bagian atas sisi limas atap terdapat jurai daun
simbar menyerupai tanduk kambing yang melengkung. Setiap sisi limas memiliki 13
jurai. Bentuk jurai melengkung dan lancip. Rupa ini merupakan bentuk atap
kelenteng Cina. Ciri khas arsitektur Eropa terdapat pada rupa jendela masjid
yang besar dan tinggi. Pilar masjid berukuran besar dan memberi kesan kokoh.
Material bangunan seperti marmer dan kaca diimpor langsung dari Eropa.
Pembangunan Menara
Pada masa pemerintahan Sultan
Ahmad Najamudin (masa pemerintahan 1758–1774) menara masjid dibangun. Lokasi
menara masjid terpisah dari bangunan utama, dan berada di bagian barat. Pola
menara masjid berbentuk segi enam setinggi 20 meter. Rupa menara masjid
menyerupai menara kelenteng. Bentuk atap menara melengkung pada bagian
ujungnya, dan beratap genteng. Menara masjid memiliki teras berpagar yang
mengelilingi bangunan menara
Arsitektur Masjid Agung dan masjid tua lainnya di
Palembang secara simbolik memiliki nilai filosofis yang tinggi. Undakan
pelataran masjid dan tingkatan atap yang berjumlah tiga memberi makna
perjalanan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hamka (1961)
menafsirkan atap tumpang sebagai berikut: Tingkat pertama melambangkan Syariah
serta amal perbuatan manusia. Tingkat kedua melambangkan Thariqat yaitu jalan
untuk mencapai ridlo Allah SWT. Atap tingkat ke tiga melambangkan Hakikat,
yaitu ruh atau hakekat amal perbuatan seseorang. Sedangkan Puncak (Mustoko)
melambangkan Ma’rifat, yaitu tingkat mengenal Tuhan Yang Maha Tinggi.
Dalam sejarahnya, masjid yang berada di pusat
Kesultanan Palembang Darussalam menjadi pusat kajian Islam yang telah melahirkan
sejumlah ulama besar. Syekh Abdus Shamad al-Palembani, Kemas Fachruddin, dan
Syihabuddin bin Abdullah, adalah beberapa ulama yang pernah menjadi Imam Besar
Masjid Agung. Peran para ulama ini sangat besar dalam mengembangkan agama Islam
di wilayah Kesultanan Palembang. Konsep pengajaran Islam diturunkan kedalam
lingkup amal (praktik) dan ilmu (wacana), sehingga mudah diterima dan diamalkan
oleh masyarakat muslim Palembang.
Saksi
Sejarah
Masjid Agung Palembang menyimpan kenangan tak
terlupakan sepanjang masa. Ia menjadi saksi perjuangan rakyat Palembang pada
pertempuran lima hari melawan Belanda di pusat kota. Pertempuran bermula pada
tanggal 1 Januari 1947. Pejuang Republik awalnya menyerang RS Charitas.
Keesokan harinya Belanda membalas serangan dengan kekuatan penuh menuju pusat
komando pejuang Republik yang berada di Masjid Agung Palembang. Batalyon Geni
merapatkan barisan bersama berbagai tokoh masyarakat demi mempertahankan masjid
dari kehancuran. Pejuang Republik berhasil bertahan, tentara Belanda mundur
akibat kekurangan pasokan. Pada saat yang bersamaan bantuan pasukan Belanda
yang datang dari Talangbetutu berhasil dihadang oleh pasukan Republik dibawah
Letnan Satu Wahid Luddien.
Belanda melancarkan kembali serangan pada hari ketiga.
Kekuatan mereka lebih besar, mendapat dukungan serangan udara dari pesawat –
pesawat Mustang untuk meluluhlantakkan kota Palembang. Namun upaya mereka
gagal, kememangan kembali diraih setelah pasukan Ki.III/34 berhasil
menenggelamkan satu kapal Belanda yang penuh dengan mesiu, meskipun harus
menelan korban banyak akibat bombardir serangan udara pesawat Mustang Belanda.
Pada hari keempat, bantuan pasukan Republik yang akan
bergabung di Masjid Agung Palembang dihadang pasukan Belanda di wilayah sekitar
Simpang Empat BPM, Sekanak dan Kantor Karesidenan.
Pertempuran berlanjut hingga hari kelima. Kekuatan
Belanda langsung menuju jantung pertahanan pasukan Republik, Masjid Agung
Palembang. Pertempuran sengit terjadi, pasukan Mobrig pimpinan Inspektur
Wagiman dengan bantuan Batalyon Geni mampu mempertahankan garis pertahanan
sehingga pasukan Belanda gagal merangsek. Setelah melewati lima hari
pertempuran yang melelahkan, pihak Belanda menyatakan mundur. Disepakati
perjanjian Cease Fire oleh kedua belak pihak. Perjanjian ini menandakan
berakhirnya pendudukan Belanda dari wilayah kota Palembang.
Masjid ini menjadi
perlambang sebuah semangat perjuangan rakyat dalam mempertahanan hak hidup, hak
menentukan nasib sendiri dan hak merdeka sebagai manusia seutuhnya. Seiring
gema adzan yang mengalun di antara menara-menara besarnya, masjid ini tetap
kokoh menjaga umat muslim dari sebuah ketertindasan.
0 komentar: